Popular Post

Popular Posts

Selasa, 09 Mei 2017

Review Film: 'A Silent Voice' / 'Koe no Katachi' (2017)

A Silent Voice' sajikan sebuah perspektif yang sederhana tentang persahabatan, bullying dan disabilitas, tapi juga diangkat dengan sensitivitas tinggi.


A Silent Voice atau dalam Bahasa jepangnya berjudul Koe no Katachi melanjutkan tren anime yang yang menantang ekspektasi. Saat melihat poster, membaca sinopsis dan didukung dari sugesti setelah menonton film Your Name (Kimi No Na Wa) beberapa bulan yang lalu, saya pikir A Silent Voice merupakan film romance. Namun ternyata film ini bukan hanya love story, alih-alih mengenai persahabatan. Karakter kita berkutat dengan disabilitas, bullying, pengucilan dan bunuh diri, tapi yang mereka inginkan hanyalah sahabat, bukan simpati; sebuah perspektif yang sederhana tapi juga diangkat dengan sensitivitas tinggi.

Film ini diadaptasi dari serial manga berjudul sama karya Yoshitoki Oima oleh penulis naskah Reiko Yoshida dan sutradara Naoko Yamada. Plotnya mengenai seorang anak laki-laki yang suka membuly yang mencari cara untuk menembus dosanya pasca bertemu kembali dengan perempuan yang pernah ia bully setelah bertahun-tahun pisah sekolah. Dalam semesta film, premis ini akan menuju arah yang terbatas: sang cowok berjuang mati-matian hingga ceweknya luluh dan mereka menjalin asmara. Namun sungguh sebuah kenikmatan saat A Silent Voice bergerak ke arah yang tak saya duga.

Karakter laki-lakinya sendiri adalah Shoya Ishida (Mayu Matsuoka), anak nakal yang baru saja kedatangan siswi pindahan di SD-nya, Shoko Nishimiya (Saori Hayami, bagus menampilkan bagaimana seorang tuna rungu yang berjuang untuk bicara). Ishida suka menjahili Nishimiya karena Nishimiya memiliki disabilitas. Ia tak bisa mendengar dan sulit berbicara, sehingga harus menggunakan catatan untuk berkomunikasi. Keisengan Ishida dan attitude Nishimiya yang rendah diri membuat teman-teman sekelas juga ikut-ikutan mem-bully Nishimiya secara fisik dan psikis.

Terkadang kita tak menyadari bagaimana keisengan kecil semacam menyiram kepala dengan air atau membuang catatan ke kolam atau tempat sampah bisa melukai seseorang. Salah satu hal yang membuat saya greget adalah bagaimana filmnya tak mengeskalasi bullying-nya. Sebagai orang yang sering melihat (dan kadang mengalami) keisengan saat kecil, taraf bullying disini sangat wajar kita lihat dilakukan oleh anak-anak. Namun sikap Nishimiya yang pasrah bahkan merasa dirinyalah yang bersalah, saya yakin, akan membuat semua feeling yang anda pikir sudah lama mati mengapung ke permukaan, dan ini terjadi kepada saya juga T.T .

Ketika Nishimiya pindah sekolah lagi, teman-teman menyalahkan Ishida, walaupun mereka juga lumayan ikut andil dalam mem-bully Nishimiya. Ia sekarang menjadi korban bullying sampai SMA. Situasi ini membuat Ishida (Miyu Irino) menutup diri dan tak mau berinteraksi hingga di satu titik ia bermaksud bunuh diri. Namun saat tak sengaja berjumpa dengan Nishimiya, Ishida mendapat kesempatan untuk memperbaiki diri dan menjalin hubungan kembali dengan teman-teman lama dan baru.

Meski sering jahil, Ishida bukan anak yang nakal tanpa simpati. Ia tahu ia melakukan sesuatu yang salah saat melihat darah menetes dari telinga Nishimiya setelah ia mencabut paksa alat bantu dengar atau saat melihat kakaknya meminta maaf kepada ibu Nishimiya. Mungkin dihantui rasa bersalah, Ishida juga mempelajari bahasa isyarat di klub bahasa isyarat (gak nyangka kalua ada >,<), tempat yang membuatnya bersua dengan Nishimiya. Ia juga berkenalan dengan anak culun si Nagatsuka (Kensho Ono), orang yang menjadi teman pertamanya setelah sekian lama serta Yuzuru (Aoi Yuki), adik cewek Nishimiya yang awalnya salah dikira Ishida sebagai pacar Nishimiya dan dikira laki-laki :v .

Film ini tak sekedar berfokus pada hubungan antara Ishida dengan Nishimiya melainkan juga para karakter yang ada disekitarnya . Ada si cewek kacamata Kawai (Megumi Han), ketua kelas SD yang masih satu SMA dengan Ishida; Sahara (Yui Ishikawa), yang mungkin satu-satunya anak yang mau berteman dengan Nishiyama, walau pengecut tapi baik banget, serta Ueno (Yuki Kaneko), cewek populer yang tetap saja sering membully Nishiyama. Dalam film ini, semuanya melakukan perjalanan moral untuk belajar. Level popularitas mereka dalam hierarki sosial tidak sama, tapi mereka punya kemiripan dalam memandang diri sendiri atau orang lain. Mereka sama-sama punya masalah insecurity.

Atmosfer filmnya yang lembut dan intim mungkin mengingatkan kita dengan film-film Makoto Shinkai, khususnya 5 Centimeters per Second *sad, dan memang ini karena sutradara Yamada menggunakan pendekatan naratif yang sama. Ia mengandalkan visual yang indah untuk bercerita atau sekedar menempatkan karakter, diiringi dengan alunan scoring lembut. Untuk tekstur latar belakang seperti tetes air atau kembang api, film ini juga menggunakan gambar photorealistic dengan warna vibrant. Para animatornya memberi perhatian lebih pada penggunaan cahaya dan bayangan.

Meski ceritanya realistis, desain karakternya khas anime dimana mereka punya mata belo, dan ini tepat karena Yamada lebih menekankan untuk menampilkan kompleksitas emosi lewat ekspresi. Komposisi gambar seringkali tak fokus dan out of frame, memberi kesan canggung sebagaimana yang dialami karakternya. Ada sebuah gimmick yang unik menggunakan tanda X yang menutupi wajah orang-orang yang ingin dihindari olehpemeran utamanya. Tanda ini akan hilang saat sipemeran utama merasa dekat dengan yang bersangkutan. Karakterisasi tak terungkap secara gamblang dan kadangkala motif mereka tak bisa kita duga, tapi saya percaya anda akan bersimpati dengan mereka di akhir.

A Silent Voice adalah satu lagi gem dari industri anime yang sangat variatif dari Jepang. Film ini melodrama, tentu saja, dan di beberapa titik, lumayan membuat mata saya gerimis, tapi ia menyampaikan pesan positif dari sebuah premis yang generically depressive. Meski demikian, daya tariknya mungkin tak seluas Your Name yang mampu menggaet penonton dari semua kalangan. Saya pikir film ini terlalu sensitif. Dan setelah saya menonton film ini ada beberapa hikmahnya misalnya, jangan membully Karena hal itu hanya akan kembali kepadamu suatu saat nanti, jangan menyerah dengan kehidupanmu, bunuh diri bukanlah jalan yang benar.


Yaaaa sekian itu saja review film yang bias saya sampaikan, Ingat “JANGAN MEMBULLY, KARENA BISA BEBPENGARUH TERHADAP PSIKOLOGY YANG BERSANGKUTAN”.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Future - Devil Survivor 2 - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -